Apabila anda lender Amartha, maka anda mungkin perlu mempersiapkan hati dan mental ketika membuka inbox email anda untuk membaca surat cinta dari Amartha.
Berdasarkan screenshot yang dikirimkan oleh anggota grup KPTPI , Amartha akan melakukan write off pada beberapa pinjaman borrower yang sudah “ga ketolong lagi”. Screenshot saya sertakan dibawah ini

Satu hal yang lucu dan miris sekali adalah Amartha menyediakan tombol bagi lender untuk melakukan “konfirmasi persetujuan write-off”. Namun tidak ada opsi untuk “menolak keputusan write off”. Apabila lender mengabaikan email tersebut dan tidak melakukan apa-apa, maka lender DIANGGAP MENYETUJUI keputusan write off.
Hal ini tentu berbeda dengan kejadian beberapa tahun lalu dimana Amartha meminta persetujuan lender untuk melakukan restrukturisasi bagi para borrower yang terdampak pandemi. Saat itu, banyak lender (termasuk saya) menyetujui keputusan restrukturisasi karena kasihan pada borrower, dan berharap bahwa kebijakan restrukturisasi justru mempertinggi kemungkinan kembalinya uang lender.
Namun, tindakan paksa write off ini justru membuat pengorbanan restrukturisasi lender menjadi sia-sia. Melihat kebelakang, tidak ada gunanya restrukturisasi kalau ujung-ujungnya dipaksa write off. Setidaknya waktu itu, lender diberikan pilihan untuk setuju atau tidak setuju.
Berdasarkan peraturan OJK yang mengatur model bisnis p2p lending, dana merupakan milik lender, dan penyelenggara diberikan amanah untuk menyalurkan dana dan melakukan penagihan pada borrower – jadi logikanya p2p lending tidak boleh seenaknya mengambil keputusan write off tanpa persetujuan lender.
Lebih parahnya lagi, Amartha selama ini memberlakukan dua asuransi yaitu asuransi jiwa dan asuransi kredit (opsional). Bagi lender yang membayar premi asuransi kredit, keputusan write off ini jelas makin ga masuk akal lagi mengingat premi yang dibayarkan lender menjadi sia-sia. Untuk memahami kenapa Amartha tidak mencairkan asuransi kredit, bisa baca tulisan saya yang menjelaskan tentang asuransi ASO.
Saya harus tegaskan saya tidak menyetujui tindakan Amartha yang tidak terpuji ini.
Namun, kalau kita menempatkan diri kita di posisi Amartha, tindakan ini sudah merupakan satu-satunya cara terakhir yang bisa ditempuh untuk memberikan kepastian pada lender.
Setelah bertahun-tahun gagal menagih cicilan pada borrower yang 3 tahun lalu direstrukturisasi, Amartha pasti sudah tidak lagi bisa mengeluarkan uang untuk membayar pihak penagih utang.
Cara yang lebih tepat untuk recovery, sebenarnya menjual utang ini pada pihak ketiga. Tapi mengingat market borrower Amartha adalah ibu-ibu usaha mikro yang berlokasi jauh dari pusat kota, serta plafon pinjaman yang nilainya kecil (5 juta kebawah), saya yakin 1000% tidak ada pihak ketiga yang mau membeli utang ini, mengingat sulitnya menagih utang pada segmen mikro. IT’S JUST NOT WORTH THE EFFORT.
Amartha dulu menggunakan metode arisan untuk menagih utang peminjam, namun sejak pandemi jelas metode tersebut tidak lagi efektif. Disinilah Amartha mulai pusing gimana cara menagih utang yang efektif namun masih etis – Amartha perlu jaga image sebagai p2p lending yang ramah wanita dan ramah pada usaha mikro.
Sayangnya, kepercayaan lender yang menyalurkan uangnya untuk membantu usaha mikro ibu-ibu harus mengalami ending pahit saat ini.