Bisakah Iman Turun Tingkatan?

Sebenarnya saya hampir pensiun untuk menulis tentang agama, karena dipikir-pikir topik tentang agama itu jauh lebih subjektif daripada politik, karena fakta dan data didalam agama cenderung sedikit dan sulit dibuktikan. Saya mungkin malah akan mendapatkan banyak musuh dan orang tidak suka dengan saya, padahal saya hanya mengutarakan pendapat yang tidak menyerang siapa-siapa.

Meskipun, sebenarnya dalam hati ini selalu ingin mengutarakan pandangan saya tentang agama karena makin hari semakin muak dengan perilaku orang-orang nasrani di sekitar saya. Jadi saya putuskan untuk kembali menulis lagi tentang agama, entah Anda suka ataupun tidak.

Apabila anda tidak bisa menerima pandangan berbeda dan merasa kepercayaan anda paling benar, maka berhenti membaca tulisan ini sekarang juga dan pergilah ke rubik lain yang mungkin lebih berguna untuk anda. Percayalah, Kalau saya tidak bisa membantu anda memahami agama, saya masih lebih bisa membantu anda memahami investasi.


Salah satu teman saya di gereja saya yang sebelumnya (bukan gereja saat ini) Percaya bahwa ketika iman sudah mencapai suatu tingkatan tertentu, maka bisa turun lagi ke tingkatan sebelumnya. Misalnya ketika ia berbuat dosa, berhenti pelayanan, berganti kepercayaan, dan keluar dari komunitas gerejanya, hal tersebut menurunkan tingkatan imannya.

Padahal, menurut saya, ketika seseorang sudah mencapai tingkatan Iman tertentu, tentunya ia tidak bisa kembali ke tingkatan sebelumnya lagi.

Saya tidak tahu apakah pandangan teman saya ini merepresentasikan denominasi gereja dia secara keseluruhan atau hanya pendapat pribadinya, yang jelas saya tidak setuju dengan dirinya.

Sesuai dugaan saya, tulisan ini sudah menimbulkan pro-kontra di kalangan kawan-kawan saya sendiri. Namun setelah berdikusi dengan banyak teman, mereka menyarankan saya untuk membatasi definisi ‘tingkatan’ agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Tingkatan yang saya maksud, tepatnya dalam bahasa inggris menggunakan kata-kata ‘phase‘, bukan ‘strength‘ atau ‘volume‘. ‘Phase‘ yang saya maksud bisa disamakan dengan ‘fase kehidupan’, sehingga didalam artikel ini, kira-kira istilah ‘tingkatan’ didefinisikan sebagai ‘fase kehidupan iman’. Salah seorang teman saya bercerita bahwa ia mengira bahwa tingkatan yang saya maksud merujuk pada ‘kondisi kesehatan iman saat ini’, padahal bukan. Teman saya yang lain malah secara gamblang bertanya: “Apakah iman punya tingkatan?”

Definisi ‘tingkatan’ saya tersebut terpengaruh oleh sebuah doktrin gereja Protestan yang mempunyai kampanye ‘Next Level‘ untuk jemaat mereka. Dalam melayani dan bertumbuh di gereja tersebut, kami selalu dihimbau untuk lebih lagi melayani, lebih lagi intim dengan komunitas, lebih lagi memberikan persembahan agar bisa ‘naik level’.

Sedangkan pandangan saya tentang “iman tidak bisa turun tingkatan” mungkin terpengaruh oleh dogma (ajaran) Gereja Katolik yang berkata bahwa ketika seseorang meninggalkan Gereja Katolik lalu kemudian Dia memutuskan untuk kembali menjadi komunitas Katolik, maka Gereja Katolik akan dengan senang hati menerima orang tersebut tanpa perlu untuk di baptis atau mengikuti pelajaran-pelajaran lagi.

Saya tahu, apabila anda Protestan, anda pasti mengecam dogma gereja Katolik karena merupakan aturan di luar Alkitab yang ditulis oleh manusia. Tapi percayalah, landasan argumen sama sekali tidak menggunakan apapun yang ditulis oleh orang-orang di Vatikan saya, saya hanya menggunakan logika dan teori yang sudah terbukti benar secara science.

Saya setuju dengan dogma Gereja Katolik ini karena kita sebagai manusia secara dasarnya (innate) memang memiliki kecenderungan untuk menyimpan ingatan-ingatan atau hal-hal yang telah kita pelajari untuk waktu yang lama.

Saya berikan contoh seperti ini: Bila Anda sudah belajar untuk memainkan piano selama lima tahun, lalu anda memutuskan untuk pensiun main piano selama tahun tahun, kemudian Anda mulai bermain piano lagi, apakah Anda harus belajar piano itu dari awal lagi? Belajar do-re-mi-fa-sol-la-si-do?

Atau ketika Anda sudah bisa menyetir sebuah mobil lalu tiba-tiba karena anda berdinas di luar kota maka anda tidak lagi menyetir selama dua tahun, Apakah kemudian ketika anda kembali ke kota asal anda dan memulai menyetir Kembali Anda harus mulai untuk belajar bagaimana cara menginjak gas?

Satu-satunya hal yang hilang apabila anda pindah agama atau pindah gereja adalah kedekatan anda dengan komunitas anda dan mungkin intensitas pelayanan Anda. Pertanyaan saya apakah: kedekatan dengan komunitas dan intensitas pelayanan anda menjadi rujukan seberapa kuat iman anda? Apakah anda lebih mementingkan kedekatan anda dengan orang di dalam gereja dibanding kedekatan dengan Tuhan Yesus sendiri?

Anda mungkin berargumen kalau pelajaran piano dan pelajar menyetir tidak sama dengan iman sebagai orang Kristen. Padahal kenyataannya, dua-duanya sama-sama mencakup pelajaran praktek maupun teori. Dua duanya juga menyerap di dalam diri anda secara MEMORI, MOTORIK, DAN NURANI.

Anda belajar bagaimana membaca nada di pelajaran piano (memori) serta bagaimana mengetuk piano itu sendiri (motorik), bahkan mungkin bagaimana membuat lagu sendiri (nurani). Dalam kehidupan bergereja, anda juga belajar bagaimana caranya membaca Alkitab (memori), memahami Firman (nurani) dan melakukan pelayanan (motorik). Dalam menyetir, Anda belajar rambu-rambu lalu lintas (memori) dan bagaimana cara mengganti gigi (motorik) dalam mobil, serta berkomunikasi dengan lampu sen dan klakson (nurani). Di gereja pun anda belajar tentang menerapkan firman dalam keseharian anda (motorik), menginjili sesama (nurani), serta menghafal tradisi gereja anda (memori).

Jadi, saya masih tidak paham kalau anda menolak menyamakan iman dengan pelajaran keseharian di kehidupan anda. Memang iman anda sangat mulia dan tinggi, tapi bagaimanapun iman juga merupakan komponen kehidupan yang memiliki unsur tangible.

Kesimpulannya, saya sampai hari ini masih bersikukuh bahwa iman adalah sesuatu yang irreversible, sama seperti layaknya pertumbuhan badan kita yang tidak bisa kembali ke tingkatan sebelumnya (dewasa menjadi remaja). Mungkin orang memang bisa berpindah kepercayaan atau gereja atau bahkan menjadi ateis selama bertahun-tahun. Namun ketika ia kembali ke imannya yang sebelumnya, tidak akan ada iman yang hilang atau berkurang.

Domba yang hilang, ketika kembali, bukan menjadi domba yang cacat atau domba yang menjadi dungu. Ia tetaplah domba sama yang hilang dari tuannya namun ditemukan kembali. Mungkin kembalinya sedikit kotor, atau terluka, tapi setelah ‘dibersihkan’ dan ‘diobati’, ia adalah domba yang sama.

Malah, menurut pengalaman pribadi saya, mereka yang sempat berpindah aliran/gereja/agama lalu kembali lagi, biasanya memiliki iman yang jauh lebih konsisten dan kuat, karena mereka sudah melihat ‘sisi lain’ dan memutuskan untuk kembali. Jadi bukannya turun tingkatan, sebaliknya malah naik tingkatan!

Lagipula terlepas dari anda setuju atau tidak setuju dengan saya, bukankah Alkitab sendiri berkata:

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” (Matius 7:1-2)

Adrian Siaril
Adrian Siaril

The boss

Articles: 599

5 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

  1. Calvin punya pandangan yang mirip dengan Katolik soal regenerate (bertumbuh) dan perseverence (ketekunan). Bedanya, menurut Calvin, barangsiapa regenerate (menerima grace, lalu bertumbuh), dia pasti diberi juga karunia perseverance, sehingga imannya ngga akan gagal. Katolik mengajarkan mereka yang regenerate, tidak selalu diberi gift of perseverance. Artinya ada orang yg menerima grace (rahmat) lalu bertumbuh dan sampai mati imannya ga pernah gagal karena ia diberi karunia perseverance (apa ya terjemahannya. ketekunankah?) sementara ada yang menerima grace lalu bertumbuh tapi on/off, kadang menimpang dan keluar dari grace, lalu masuk lagi. Nah, lalu apakah iman bisa mandek atau bahkan mundur? Tergantung apakah dia punya karunia ketekunan atu tidak. Kalau tidak punya, ya sangat mungkin dia keluar masuk dari keadaan rahmat (grace). Lalu gimana caranya supaya tidak on/of, tidak mandek atau tidak mundur? Kita membutuhkan karunia ketekunan, dan karunia ini bisa kita minta. Tapi di sini problemnya. Suka-suka Tuhan, dia mau ngasih atau nggak. Yang pasti karunia ngga bisa di-earn. Ngga ada merit yg bisa kita usahakan untuk mendapatkan karunia. Mau jungkir balik memintanya pun, hak prerogatif Tuhan untuk memberi atau tidak. Bukan berarti tidak perlu minta karunia ketekunan, tapi ya Allah punya pertimbangan-pertimbangannya sendiri mau ngasih atau ngga, atau kapan waktu yang tepat Ia akan memberikannya.

      • John Calvin itu salah satu tokoh Reformasi Protestan. Selama satu abad moral orang Jerman mengalami kemerosotan karena orang keliru memahami ajaran Martin Luther; lalu Calvin merumuskan pentingnya kesalehan, karena itu tema “perseverance” sangat penting dalam gereja reform/Calvinis.
        .
        Oh iya, dalam hal memahami pertumbuhan imannya sendiri, manusia punya kecenderungan delusional, yaitu menilai dirinya di tahap yang jauh lebih tinggi dari tahap sebenarnya. St Theresia Avila menggambarkan tahapan iman tidak linear tetapi seperti memasuki sebuah bangunan dengan banyak ruangan. Keintiman sejati dengan Allah ada di ruang tengah, dan untuk menuju ke sana kita akan melewati pelataran dan berbagai ruang-ruang lain. Seringkali kita merasa sudah melewati banyak ruangan, dan telah menempuh jarak makin dekat dengan Allah; padahal sebenarnya kita cuma mutar-mutar di ruangan-ruangan terluar dan tetap belum mengalami progress/tidak makin dekat,
        .
        Ruangan-ruangan terluar pun punya banyak “hal-hal menarik” yg membuat kita asyik di situ dan secara delusional mengira kita telah menempuh pengalaman rohani yg kaya. Padahal cuma muter-muter di ruangan-ruangan terluar.
        .