Restrukturisasi: Solusi Terbaik bila P2P Macet?
Pada bagian kali ini saya ingin membahas pertanyaan yang belakangan ini sering ditanyakan, karena sejak pandemi COVID-19 memang ada kenaikan dari tingkat telat bayar di banyak p2p lending, sehingga memberikan ‘pengalaman pertama’ bagi lender untuk merasakan telat bayar.
Banyak dari lender yang tanya “kenapa sih kok susah bagi p2p lending melakukan penagihan? Kenapa sih kok pinjaman macet sepertinya dibiarkan begitu saja?” Disini saya coba memberikan persepsi dari seorang penyelenggara p2p lending (bukan dari kacamata lender), tanpa ada maksud menyudutkan industri p2p lending maupun penyelenggara tertentu.
Margin tidak nutup untuk collection
Perlu diingat penghasilan P2P lending hanya datang dari spread dan/atau biaya provisi, yang hanya sekian persen dari total disbursement nya. Dari dana yang dicairkan ke borrower sebesar 100 juta, mungkin p2p lending hanya dapat 2 juta (2%). Bila 100 juta tersebut tiba-tiba macet dan mau ditagih, uang yang dikeluarkan penyelenggara untuk melaksanakan kegiatan penagihan bisa saja malah jauh lebih tinggi daripada 2 juta rupiah.
Ini sebabnya p2p lending cenderung fokus ke underwriting, yakni proses manajemen risiko sebelum pencairan dana ke peminjam, ketimbang fokus pada pelaksanaan penagihan. Meskipun tim penagihan tetap harus ada, biasanya jumlah tenaganya sedikit, dan itupun tugasnya kebanyakan dilakukan dari balik meja menggunakan komputer dan telepon, bukan mendatangi lokasi peminjam secara langsung karena kan bensin mahal.
Underwriting p2p lending banyak yang dibanggakan menggunakan teknologi kecerdasan buatan, namun pada kenyataannya kecerdasarn buatan tersebut tidak bisa memprediksi masa depan borrower dan kemampuan mereka dalam melunasi pinjaman.
Debt collector itu mahal
OJK memperbolehkan p2p lending untuk menggunakan debt collector yang sudah disetujui OJK untuk melakukan kegiatan penagihan, namun debt collector biasanya menggunakan skema komisi.
Debt collector, sekalipun berhasil melakukan recovery, namun mengambil sebagian besar (sampai dengan 40%) dari total uang yang berhasil mereka tagih. Jadi meskipun debt collector berhasil melakukan pemulihan dana lender, yang diterima pun tidak sejumlah dengan total modal yang dikeluarkan lender. Itupun dengan asumsi bahwa total outstanding (pinjaman yang belum dibayar) berhasil ditagih 100%.
Jadi total recovery yang bisa menjadi hak lender sebenarnya memiliki rumus:
(Total outstanding * Jumlah recovery yang berhasil dalam persen) – (komisi debt collector dalam persentase * jumlah recovery yang berhasil dalam rupiah)
Wajar saja OJK mengharuskan P2P lending untuk menggandeng asuransi kredit untuk memitigasi risiko, karena kalah hanya mengandalkan penagihan debt collector tentu secara ekonomi kurang menguntungkan penyelenggara maupun lender.
Yang Ditagih Bukan Uang Mereka
Konsep P2P lending adalah menyalurkan dana dari lender ke borrower, jadi bila ada pinjaman macet, sebenarnya secara teori bukan penyelanggara kan yang rugi, melainkan para lender. Wajar saja dong kalau p2p ada yang malas melakukan penagihan, toh itu kan memang bukan uang mereka, dan dalam perjanjian antara lender dan penyelenggara, sudah tertulis jelas bahwa risiko menjadi tanggungan lender, penyelenggara tidak diwajibkan untuk melakukan ganti rugi apa-apa terhadap pinjaman gagal bayar.
Inilah alasan kenapa p2p lending masuk kategori ‘investasi’ tinggi risiko, karena meskipun ada mitigasi risiko berlapis-lapis, ujung – ujungnya risiko tetaplah menjadi beban lender.
Membuang Waktu dan Tenaga
Tim collection bukan merupakan sumber daya manusia yang berkontribusi positif pada penghasilan perusahaan penyelenggara p2p lending. Seperti pembahasan sebelumnya, uang yang ditagih itu kan bukan uang penyelenggara melainkan uang lender, jadi peran tim collection meskipun penting namun tidak ekonomis, berbeda dengan RM dan RO borrower yang berhubungan langsung dengan pendapatan perusahaan karena mencari peminjam maupun pendana.
Jangan kaget bila melihat perusahaan p2p lending dengan ratusan karyawan dan ratusan borrower hanya memiliki kurang dari 5 tim collection, karena memang begitulah yang harus dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan.
Bagaimana dengan Solusi Lainnya?
Ada beberapa solusi lain yang biasanya ditawarkan penyelenggara untuk mengatasi pinjaman macet, namun itupun tidak sempurna dan punya konsekuensi jangka panjang.
Buyback Debt, namun Buruk untuk Bisnis
Ada tren buruk dikalangan para lender, yaitu mengharapkan penyelenggara untuk selalu menalangi gagal bayar dengan melakukan ‘pembelian bad debt’. Meskipun hal ini tentu sangat menguntungkan lender, namun sangat berdampak buruk pada penyelenggara di jangka panjang.
Aturan OJK lama mewajibkan modal minimal sekitar 2.5 milyar untuk perusahaan P2P lending berizin, dan 1 milyar untuk terdaftar. Pemasukan P2P lending dari spread atau biaya provisi dikurangi biaya operasional seperti gaji dan infrastruktur, jadi uang darimana untuk melakukan buyback seluruh bad debt? Apalagi kalau p2p lending tersebut belum pernah mendapat suntikan dana sama sekali. Pihak yang menyuntik dana juga pasti tidak setuju bila uang yang mereka ‘investasikan’ untuk masa depan perusahaan malah dipakai untuk membuat lender senang, yakni hal yang sangat bersifat jangka pendek sekali. Sudah dibuat senang, belum tentu setia pula. Iya kan? Pasti kebanyakan lender setelah merasakan macet atau gagal bayar, langsung pindah hati.
Jadi, meskipun sayapun (sebagai seorang lender) sangat mengharapkan bahwa semua penyelenggara secara otomatis melakukan buyback atas pinjaman yang macet, namun saya mencoba memposisikan diri saya dari sudut pandang penyelenggara, dan sudah jelas solusi ini tidak sustainable sama sekali.
Klaim Asuransi Kredit
OJK memang sudah menyarankan (bukan mewajibkan) penyelenggara untuk menggandeng mitra yang bisa memberikan asuransi kredit. Premi asuransi kredit ini ada yang menjadi beban lender secara wajib, beban lender secara opsional, ataupun ditanggung oleh penyelenggara seluruhnya (meskipun biasanya hal ini disertai dengan penurunan rate yang ditawarkan).
Klaim asuransi kredit baru bisa mulai diproses ketika pinjaman sudah masuk kategori gagal bayar, yaitu macet melebihi 90 hari. Di hari ke 91, penyelenggara baru akan memproses klaim ke asuransi, dan proses inipun bisa memakan waktu sampai dengan 90 hari. Jadi, lender perlu menunggu sampai dengan 180 hari untuk menerima penggantian rugi dari pihak asuransi, dan itupun nominal digantinya tidak 100%, karena:
- Memang tidak semua asuransi menyediakan perlindungan 100% pokok modal. Kebanyakan hanya sekitar 70 sampai 90%
- Tergantung dari analisa si penyedia asuransi, bisa saja dari nominal yang di klaim tidak sepenuhnya di approve, jadi bisa saja lender menerima penggantian modal yang jauh lebih rendah daripada yang diharapkan.
Tentu kedua hal tersebut mengakibatkan opportunity cost yang sangat besar bagi lender. Beberapa p2p lending berinisiatif memitigasi hal tersebut dengan memberikan ganti rugi tepat di hari ke 91, tanpa harus menunggu proses pengurusan asuransi. Ibaratnya, penyelenggara mengeluarkan terlebih dahulu uang dari kantong mereka, lalu klaim asuransi kemudian hari akan menjadi hak mereka. Sejauh ini, yang sudah menerapkan hal ini adalah PinjamanGo dan Danamas. Menurut saya wajar saja karena mereka berdua adalah grup Danamas, yang menggandeng asuransi Simas Insurtech yang berada di ekosistem grup yang sama. Jadi, mungkin saja mereka punya perjanjian khusus ‘guaranteed approval’ sehingga bisa melakukan hal tersebut.
Perlu anda ingat juga bahwa setiap penyelenggara punya kriteria dan rumus yang berbeda-beda untuk mengkategorikan pinjaman gagal bayar. Definisi yang digariskan OJK perihal TKB90 selalu ambigu dari dulu sampai sekarang, sehingga bisa saja pembayaran 1000 rupiah membuat batal suatu pinjaman untuk masuk kategori gagal bayar, dan akibatnya memperlambat proses klaim asuransi sehingga makin merugikan lender.
Selain itu, pihak Koinworks juga menginformasikan saya bahwa klaim asuransi yang dilakukan secara buru-buru dan sesering mungkin akan meningkatkan premi asuransi yang dibebankan mitra asuransi kepada penyelenggara, sehingga menaikkan biaya operasional penyelenggara. Sehingga setiap klaim asuransi harus didahului terlebih dahulu oleh proses lainnya seperti penagihan intensif dan negosiasi.
Restrukturisasi
Solusi ini adalah yang paling dibenci lender namun disukai oleh penyelenggara. Solusi ini merugikan lender karena
- Merusak likuiditas portfolio. Rencana keuangan yang disusun dengan baik berdasarkan tanggal jatuh tempo bisa hancur berantakan karena pinjaman dengan tenor 1 bulan bisa berubah menjadi 1 tahun
- Retur efektif berkurang jauh. Proses restrukturisasi biasanya mengurangi retur karena bertujuan meringankan beban pembayaran borrower, tidak mungkin bunganya malah dinaikkan
- Yang mengambil keputusan seringkali bukan lender. Meskipun uang tersebut adalah uang lender, nyatanya dalam beberapa kasus penyelenggara asal mengambil keputusan restrukturisasi tanpa persetujuan dari lender. Untuk penyelenggara yang sifatnya non-crowdsource (satu lender mendanai satu borrower) harusnya teknis meminta persetujuan ini sangat mudah kok. Untuk penyelenggara crowdsource (banyak lender mendanai satu borrower), memang teknisnya agak rumit karena mungkin ada konsensus yang berbeda diantara banyak lender tersebut. Belum ada satupun penyelenggara yang sudah menerapkan SOP resmi untuk keputusan lender dalam model crowdsource.
Sedangkan restrukturisasi sangat menguntungkan borrower karena:
- Negosiasi baik-baik. Tidak ada penyitaan aset ataupun pencairan agunan
- Memberikan waktu bagi borrower untuk menstabilkan kondisi keuangan mereka
- Perpanjangan tenor juga berarti borrower bisa memanfaatkan dana jangka pendek untuk keperluan lain ketimbang pelunasan pinjaman
Keuntungan untuk penyelenggara, sebenarnya bisa disimpulkan dari yang sudah dibahas diatas:
- Tidak perlu repot-repot melakukan penagihan dan ‘pengancaman’. Cukup diskusi, negosiasi, selesai
- Tidak perlu nambah orang untuk meningkatkan usaha collection
- Tidak perlu repot-repot urus klaim asuransi
- Tidak perlu mengeluarkan uang untuk buyback
Disini kita bisa lihat bahwa solusi restrukturisasi menguntungkan dua pihak (borrower dan penyelenggara) dan hanya merugikan satu pihak (lender). Jadi, wajar saja dong solusi ini yang paling sering digunakan penyelenggara dalam menghadapi kondisi paska COVID-19
Kesimpulan
Mungkin banyak dari lender yang tidak puas dengan artikel ini dan malah berkata “kalau gapunya uang untuk buyback atau bayar collector, ya gausa buka perusahaan p2p lending dong”. Well, sebenarnya merekapun bisa berkata kepada anda “kalau gabisa terima risikonya, ya jangan jadi pendana lah”
Betul tidak? Nyesek memang, tapi gitulah kenyataannya. P2P lending memang tinggi risiko.
Ingin belajar memilih kartu kredit terbaik sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anda?
pabila kamu pemula di dunia kartu kredit dan ingin mulai mengumpulkan cuan dari kartu kredit, maka kamu akan cocok bergabung di kursus C4: Cari Cuan Credit Card, dimana kita akan belajar:
- Bagaimana orang bisa naik pesawat gratis dari penggunaan kartu kredit
- Bagaimana kartu kredit bisa membuat kita berhemat ratusan ribu sampai jutaan rupiah setiap bulan
- Bagaimana cara agar tidak membayar biaya kartu kredit sama sekali
Ayo cek dan gabung sekarang dengan klik tombol dibawah!
karena tingginya spam, kolom komentar saya tutup sementara. Untuk menghubungi saya, dm saya di Instagram, Telegram, Tiktok (@adriansiaril), atau isi formulir dibawah ini.