Lilin yang Tak Padam
Saya daridulu sampai sekarang tidak pernah merasa menjadi pengikut Yesus yang baik. Saya kurang percaya akan kekuatan doa, malas pelayanan, dan jarang memaknai ibadah ekaristi dengan sungguh-sungguh.
Mujizat, bagi saya, juga sesuatu yang tidak lebih hanya ilusi psikologis yang seringkali digembor-gemborkan orang yang sedang euphoria, padahal hal tersebut tidak lebih hanya random occurence atau kebetulan yang sedang pas saja.
Saya memang belum pernah ada di situasi dimana saya hanya bisa berpasrah dan bergantung pada jawaban doa, dan saya berharap tidak akan pernah mengalami situasi tersebut. Terakhir kali saya berdoa rosario itu meminta agar ada orang yang ‘mengambil alih kontrak’ tempat tinggal saya di Shanghai, supaya saya tidak kehilangan sekitar 28 juta rupiah sebagai denda untuk landlord.
Karena itu uang yang cukup besar, menurut saya doa saya cukup penting. Dan karena saya tidak pernah meminta sesuatu yang sedemikian ‘penting’ dari Tuhan sebelumnya, maka saya yakin doa saya tersebut akan dikabulkan.
Tentu saja tidak dikabulkan.
Tapi kekecewaan tersebut tidak pernah menghapus fakta bahwa saya pernah mengalami mujizat yang kecil namun cukup membuktikan bahwa itu bukan random occurence atau kebetulan, seakan-akan Tuhan menampar bibir saya dengan fakta sambil bilang ‘touche,douche’.
Izinkan saya bercerita sedikit tentang hal tersebut. Ceritanya ga panjang kok, ga ada drama dan ga sampai jadi satu buku.
Hari itu adalah Sabtu Suci di gereja Katolik tempat saya bertugas sebagai kru (crew). Sabtu Suci gereja Katolik tentu sangat ramai karena banyak dihadiri orang Katolik KTP yang biasanya cuma pergi misa saat napas (natal paskah), jadi seluruh ruangan dan gedung dibuka untuk menampung sedemikian banyak umat yang datang, dan tentunya perlu kru ekstra untuk mengakomodasinya.
Ada satu hal yang unik di Sabtu Suci gereja Katolik, yaitu tradisi menyalakan lilin. Lilin umat yang hadir tidak boleh dinyalakan dengan sembarangan, melainkan harus menggunakan ‘api sumber’ yang berasal dari lilin super besar di mimbar, diteruskan dengan menyalakan satu lilin ke lilin lainnya menggunakan estafet manusia.
Saya ditugaskan untuk menjadi salah satu estafet tersebut. Teman saya akan menyalakan lilin yang saya pegang sehingga saya bisa menyalakan lilin umat lainnya yang duduk di daerah tugas saya.
Hanya ada satu masalah: poin estafet saya berada di outdoor, dan saya harus membawa cahaya lilin tersebut ke ruangan indoor ber AC di lantai 2.
Saat estafet terjadi, saya gugup setengah mati. Angin cukup keras, dan semua orang waras tahu bahwa angin bisa dengan mudah mematikan lilin. Dengan hati-hati saya menutupi lilin saya dari terjangan angin ketika sudah menerima api dari teman saya, dan saya tak henti hentinya berdoa agar jangan sampai lilin tersebut mati.
Lilin mati itu bukan larangan, boleh dinyalakan lagi asal berasal dari lilin sebelumnya atau lilin sumber. Masalahnya, jarak antara poin estafet dengan lilin sumber cukup jauh atau lilin sebelumnya cukup jauh, dan sekalipun diulang berkali-kali, tidak akan merubah fakta bahwa anginnya tetap kencang.
Dan disitulah saya merasakan mujizat pertama kalinya, dan sampai saat ini yang terakhir kalinya, karena lilin saya tidak mati sekalipun meskipun diterjang angin yang membuat rambut saya mohawk. Sekalipun saya naik tangga sehingga arah anginnya silih berganti, namun cahaya lilin mentok redup saja, tidak mati. Demikian pula saat saya memasuki area tugas saya, hembusan AC yang langsung menyambut di pintu masuk tidak berpengaruh banyak ke lilin saya.
Dengan gugup saya menghubungkan sumbu lilin saya ke umat terdekat di pintu masuk, dan ketika ia berhasil memberikan apinya ke umat lainnya, disitulah akhirnya saya bisa merasakan bahwa tangan saya sudah penuh dengan cairan lilin yang luber jatuh ke tangan saya. Saya tidak merasakan panas atau sakit apapun saat membawa lilin tersebut, entah karena gugup, atau karena ada hal lain yang mematikan saraf tangan saya.
Sampai hari ini saya masih mencoba rasional dan menganggap peristiwa tersebut hanyalah hal yang biasa.
Mungkin lilinnya produk bagus sehingga kebal angin (seperti lilin ultah prank). Tapi kok setelah itu saya tiup bisa mati?
Mungkin anginnya sebenarnya tidak kencang, hanya ilusi saya karena grogi? Tapi kok setelah itu memang betul rambut saya berantakan meskipun pakai hair gel?
Pada akhirnya saya pun tidak menemukan jawaban rasional atas kejadian tersebut, entah sebenarnya mujizat atau tidak. Bila hal tersebut bukan mujizat, maka bisa dibilang saya tidak pernah mengalami mujizat seumur hidup saya sampai saat ini.
Namun kejadian tersebut membuat saya paham akan lirik lagu “tak pernah sendiri” yang mengandung kalimat ini:
“Sumbu yang pudar nyalanya takkan pernah dipadamkan”
Selamat hari Paskah.
Ingin belajar memilih kartu kredit terbaik sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anda?
pabila kamu pemula di dunia kartu kredit dan ingin mulai mengumpulkan cuan dari kartu kredit, maka kamu akan cocok bergabung di kursus C4: Cari Cuan Credit Card, dimana kita akan belajar:
- Bagaimana orang bisa naik pesawat gratis dari penggunaan kartu kredit
- Bagaimana kartu kredit bisa membuat kita berhemat ratusan ribu sampai jutaan rupiah setiap bulan
- Bagaimana cara agar tidak membayar biaya kartu kredit sama sekali
Ayo cek dan gabung sekarang dengan klik tombol dibawah!
karena tingginya spam, kolom komentar saya tutup sementara. Untuk menghubungi saya, dm saya di Instagram, Telegram, Tiktok (@adriansiaril), atau isi formulir dibawah ini.