Sebagai pengusaha, kita seringkali tergoda untuk senantiasa memutar hasil keuntungan usaha kita untuk ‘diinvestasikan kembali’. Investasi ini bisa dua arah, antara diputar kembali di usaha kita, atau diinvestasikan ke instrumen investasi berbasis paper seperti lembaran saham, surat utang, deposito, dll.
Pertanyaan “lebih baik investasi di bisnis sendiri atau instrumen kertas ” – sering menjadi dilema bagi pengusaha. Dalam tulisan ini saya ingin memberikan beberapa perspektif sebagai seorang pengusaha.
Untuk menjawabnya, saya mungkin perlu sedikit cerita. Sebelum pandemi, saya pernah memperkenalkan p2p lending ke teman pengusaha saya. Dia menertawakan return p2p lending yang berkisar 12-24% saat itu. Katanya, jika uang tersebut ditempatkan di bisnisnya, hasilnya bisa 5 kali lipat dari p2p lending. Jadi, menurut dia, investasi itu tidak penting karena hasilnya kecil sendiri. Padahal, kita tahu sendiri return diatas 14% itu sudah tinggi sekali karena sudah diatas rata-rata pergerakan pasar saham kita. Di masa itu p2p lending juga sedang jaya sehingga hasilnya jauh lebih tinggi daripada rate p2p lending sekarang di tahun 2023.
Namun, di tahun 2021 tibalah pandemi yang mempengaruhi banyak bisnis, dan sayangnya bisnis teman tersebut merupakan kebutuhan non primer sehingga mengalami penurunan pendapatan sebesar 90%. “Return 5x lipat” yang dibangga-banggakan tersebut tidak lagi ada, dan malah menjadi kerugian karena ada fixed cost yang tidak berkurang seperti gaji karyawan.
Sebenarnya, pandemi juga berdampak parah pada instrumen investasi paper asset. Baik saham maupun surat utang mengalami penurunan harga yang sangat parah. Namun, kupon surat utang negara tidak turun seperti harganya, dan recovery harga saham ternyata berlangsung lebih cepat daripada yang orang prediksi, sehingga penurunannya hanya sementara saja.
Sedangkan, usaha teman saya ini sampai hari ini belum kembali pada masa kejayaannya, karena pandemi telah mengubah kebiasaan orang mengeluarkan uang. Pandemi juga membuat orang lebih berhati-hati mengeluarkan uang untuk kebutuhan non primer.
Akibatnya, teman saya ini kehilangan banyak sekali opportunity cost. Seandainya dulu ia menyisihkan sebagian uangnya ke investasi, maka ia mungkin tidak separah ini kerugiannya, dan ia bahkan berpotensi mendapatkan sedikit keuntungan dari recovery market saham untuk menutupi kerugian bisnisnya .
Dari kisah ini saya ingin berpendapat, bahwa investasi dan bisnis adalah dua hal yang berbeda. Dalam investasi, kita berusaha membuat uang bekerja untuk kita sendiri. Sedangkan bisnis adalah upaya mengkonversi waktu menjadi penghasilan. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dilakukan secara bersamaan dan tidak bisa hanya salah satu saja.
Apabila uang kita terus-terusan kita taruh pada bisnis sepenuhnya, maka penghasilan kita sepenuhnya hanya dari satu sumber saja, yang bisa saja terkena dampak negatif yang diluar kendali kita. Investasi memang tidak bisa menghasilkan keuntungan setinggi bisnis atau usaha kita, tapi itu merupakan upaya meminimalkan risiko. Investasi pun bisa rugi dan tidak dijamin untung, namun konsep ‘diversifikasi’ meminimalkan ‘risiko sistematik’ karena kita memiliki sumber penghasilan lebih dari satu.